Novel Online, romantis

Ugly Wife – Bab 3

 

Bab 3

 

Cumbuan dari Elang begitu kuat, seakan lelaki itu tak ingin melepaskan diri Shafa sedetikpun. Sedangkan Shafa, ia masih meronta sekuat tenaga. Shafa tahu bahwa secara fisik dan kekuatan, ia kalah telak dengan Elang, tapi setidaknya, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya akan memberikan lelaki itu perlawanan ketika Elang memperlakukannya dengan semena-mena.

Ketika keduanya masih bergulat dengan cumbuan mereka, pintu kamar mereka di buka begitu saja dari luar. Gadis yang tadi memeluk Elang berdiri di ambang pintu dan menatap keduanya dengan keterkejutan yang amat sangat.

“Maaf.” ucapnya dengan spontan.

Elang melepaskan cumbuannya pada bibir Shafa. Sedangkan Shafa segera menjauh dan membungkam bibirnya sendiri. suasana canggung menyeruak diantara mereka.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Elang pada gadis tersebut.

“Uum, Maaf, aku ganggu.” Gadis itu menggaruk tengkuknya.

Elang mendengus sebal. Ia lalu menatap ke arah Shafa, perempuan itu masih menundukkan kepalanya, mungkin malu karena baru saja kepergok berciuman dengannya.

“Lain kali, ketuk pintunya dulu.”

“Aku sudah ketuk, tahu. Dan kulihat pintunya nggak dikunci, jadi aku buka aja. Lain kali, kunci pintunya sebelum…”

“Bunga.” Elang memotong kalimat gadis itu. “Katakan, apa yang kamu mau?”

“Aku kan pengen kenal sama kakak iparku, masa nggak boleh.”

Shafa mengangkat wajahnya seketika. Ya Tuhan, bahkan Shafa baru ingat kalimat Elang tadi yang menyebutkan tentang dirinya yang ingin merebut hati adik Elang. Apa gadis ini adalah adik Elang? Kenapa ia sampai tidak tahu?

Jika dipikir-pikir, Shafa memang tak begitu mengenal dekat keluarga Elang. Padahal mereka sudah menikah hampir empat bulan lamanya. Ada beberapa foto keluarga yang tergantung di dinding-dinding rumah Elang. Di sana terlihat kedua orang tua Elang dan juga seorang gadis berkaca mata. Shafa tidak tahu siapa gadis itu, tapi Shafa sempat berpikir mungkin itu adalah Adik Elang.

Shafa tidak pernah menanyakan lebih, pada siapapun. Karena ia tahu, bahkan kehadirannya di rumah itu saja tidak diharapkan, jadi Shafa tidak berniat bertanya pada siapapun. Ia hanya berspekulai sendiri. dan jika di lihat-lihat, gadis di dalam foto tersebut memang sedikit mirip dengan gadis di hadapannya saat ini, hanya berbeda wana rambut serta gaya berpakaiannya saja, serta tampak lebih dewasa.

Elang mendekat pada Bunga dan berkata “Lebih baik kamu keluar.” ucapnya dingin.

“Kak El apaan sih.” Bunga tampak enggan menuruti permintaan Elang.

Pada saat itu, Shafa mendekat, dan berkata “Kita bisa ke kebun samping rumah.”

Hal itu membuat Elang menatap tajam ke arahnya. “Urusan kita belum selesai.” desisnya tajam.

“Setauku, kita tidak memiliki urusan yang lebih penting daripada urusan masing-masing.”

“Sial!” Elang mendesis tajam. Ia tidak percaya bahwa Shafa berani melawannya saat ini, di hadapan Bunga. Sedangkan diantara mereka, Bunga tampak tersenyum melihat reaksi keduanya. Bunga bertepuk tangan seketika hingga membuat Elang dan Shafa menatap ke arahnya.

“Apa yang kamu lakukan?” Elang bertanya dengan nada jengkel.

“Aku senang karena kulihat Kak El punya lawan yang sepadan.”

“Apa?” Elang tidak mengerti apa maksud adiknya tersebut.

Tanpa banyak bicara, Bunga mengapit lengan Shafa kemudian menariknya keluar dari kamar. “Pokoknya, aku mau ada perlu sama Kak Shafa.” Dan sebelum Elang menanggapi ucapan Bunga tersebut, Safa sudah diseret keluar oleh adiknya yang manja itu.

Sial!

***

“Jadi, kakak yang nanem bunga-bunga ini?” bunga bertanya pada Shafa ketika mereka sudah sampai di kebun bunga kecil yang tak jauh dari area kolam renang. Meyirami beberapa tanaman mawar yang sudah tampak bermekaran di sana.

“Iya, aku bawa dari toko bungaku.”

“Wah, keren. Jadi bikin aku betah di rumah.”

Shafa menatap ke arah Bunga. Sejauh ini, hanya Bungalah yang bersikap sangat baik dan ramah padanya. Berbeda dengan perlakuan Elang dan keluarga yang lainnya.

“Kamu, tinggal di mana?”

“Memangnya Kak El nggak ngasih tau ya? Aku kan kuliah di Inggris, Kak. Ini pun aku libur paling nggak sampek satu bulan.” Bunga tampak menggerutu.

Shafa hanya tersenyum menanggapi jawaban manja dari gadis di hadapannya tersebut. Andai saja Bunga tinggal di rumah ini, mungkin mereka bisa menjadi teman yang baik.

“Kak Shafa sendiri gimana? Betah tingga di sini?”

“Aku…”

“Kak El nggak jahat, kan?”

Shafa tersenyum. Jahat sih enggak, tapi bagi Shafa, Elang sudah seperti paket komplit pria biadab yang tak seharusnya bersinggungan dengan dirinya.

“Aku tuh ya, dulu sering dengar cerita tentang Kak Shafa loh.”

Shafa menatap Bunga seketika. “Benarkah?”

“Iya. Sebenarnya, Papa sih yang lebih sering ngingetin sama Kak El, kalo Kak El punya Kak Shafa. Awalnya aku nggak ngerti apa maksudnya, tapi aku tahu sejak Kak El jemput aku pulang sekolah. Dia ngajak mampir ke suatu tempat yang kuyakini adalah toko bunga milik Kak Shafa.”

Mata Shafa membulat seketika ke arah Bunga. “Kalian ke sana? Benarkah?”

“Iya, cuman numpang parkir doang. Nggak tau tuh, sampai sekarang aku nggak tau alasannya kenapa dulu Kak El suka banget parkir mobil di dekat toko Kak Shafa.”

“Suka?” lagi-lagi Shafa tampak tak percaya dengan ucapan Bunga.

“Loh, Kak Shafa memangnya nggak tau ya? Soalnya aku aja sudah beberapa kali nemani dia ke sana saat itu.”

Shafa hanya terpaku mendengar jawaban dari bunga. Pikirannya melayang entah kemana. Benarkah dulu Elang sering melakukan apa yang dikatakan Bunga? Untuk apa?

***

Di lain tempat, Elang mengamati interaksi antara Bunga dan Shafa dari jauh. Ia menatap keduanya dengan tatapan tak suka. Bunga tampak nyaman berada di sekitar Shafa bahkan keduanya tampak akrab satu sama lain. Hal itu membuat Elang tidak suka.

Entahlah, ia memang selalu tidak suka jika melihat Shafa dekat dengan siapapun bahkan dengan keluarganya sendiri. Saat tatapan mata Elang tak lepas dari dua orang wanita muda itu, saat itulah ibunya datang.

Virna menghampiri Elang dan bertnya “Apa yang kamu lakukan di sana?”

“Cuma lihat kolam.” Elang menjawab pendek tanpa mengalihkan pandangannya pada Shafa dan Bunga. Virna mengikuti arah pandang puteranya, dan ia berakhir berdecak.

“Kamu ngapain lihatin adikmu dan istrimu sampai seperti itu?”

“Dia perempuan yang berbahaya, Ma.”

“Maksudmu?”

“Lihat, Bunga dengan mudah terpengaruh padanya.”

“El. Mama mau kasih tau sesuatu sama kamu. Sepertinya, Shafa itu tulus, dia nggak seperti yang kita kira, dia baik, dia pernah nolong mama waktu nggak ada orang di rumah dan Asma mama kumat.”

“Kok mama jadi belain dia? Cuma karena itu? dia sudah mengancurkan masa depanku, Ma.”

“Tapi masa depan dia juga hancur karena semua ini, El. Dia juga terpaksa dengan pernikahan kalian.”

Elang mengepalkan kedua telapak tangannya. “Aku yang paling dirugikan di sini.” desisnya tajam.

“Mama nggak ngebelain dia, tapi dia hampir kehilangan kakinya, dia masih mau menerima kamu, dan bersikap baik sama kita.”

Elang kembali menatap Virna dengan mata tajamnya. “Terserah Mama kalau mau bersikap baik sama dia. Tapi aku, aku nggak akan pernah melakukannya.” Setelahnya, Elang pergi dan Virna hanya menggelengkan kepalanya menatap kepergian putera keras kepalanya tersebut.

Virna kembali menatap ke arah Shafa dan Bunga. Awalnya, ia memang tidak menyukai keberadaan Shafa. Tentu saja, siapa yang mau melihat puteranya terikat dengan perempuan seperti Shafa. Tapi semakin kesini, Virna sadar, ia melihat bagaimana perempuan itu menampilkan ketulusannya. Kekurangan Shafa seakan tertutupi dengan sikap baik yang selalu ditampilkan oleh perempuan itu. Padahal jelas-jelas Virna tahu, bahwa kekurangan yang menimpa Shafa adalah kekurangan yang diberikan oleh puteranya.

***

Makan malam dalam keadaan canggung. Biasanya, Shafa tidak akan ikut makan di meja makan jika Ayah mertuanya tak ada seperti sekarang ini. karena selama ini, hanya Tuan Abrahamlah yang cukup perhatian padanya dan memperlakukannya sebagai seorang menantu. Sayang sekali, pria paruh baya itu memang amat sangat jarang berada di rumah ini karena sibuk dengan pekerjaannya.

Kini, Shafa duduk di meja makan karena permintaan Bunga. Gadis itu tadi bahkan menyeret Shafa dan mengajaknya makan malam bersama.

“Jadi ini juga Kak Shafa yang masak?”

“Tadi cuma ikut bantu sedikit.”

“Wah, keren. Kakak serba bisa. Pantesan Kak El seneng.”

Elang memutar bola matanya ke arah Bunga. Tampak tak suka dengan kalimat terakhir yang keluar dari bibir adiknya tersebut.

Bunga mengabaikan reaksi dari Elang, dan ia memilih membahas masalah lain. “Ngomong-ngomong, besok kita belanja yuk Kak. Kan aku butuh gaun buat datang ke pestanya Bang Nanda. Kak Shafa sudah punya gaunnya?”

“Dia nggak ikut.” Elang menjawab cepat dan dengan nada dingin.

“Dih, apaan sih. Bang Nanda kan sepupu kita, dan salah satu orang terdekat Kak El. Masa dia tunangan, kak Shafa nggak ikut sih..”

Elang mendengsus sebal “Baru sehari kamu di rumah, dan kamu sudah buat pusing. Shafa nggak ikut, dia akan tetap berada di rumah dan tidak akan pergi ke manapun.” Elang berdiri kemudian meninggalkan meja makan.

“Apa-apaan dia? dih, jangan dengarin Kak El. Besok, aku akan ngajak Kak Shafa belanja.” Bunga bersikeras. Ia tidak akan mendengarkan larangan kakaknya. Baginya, tak ada yang bisa melarang Shafa untuk datang ke pesta keluarga mereka.

***

“Apapun yang terjadi, kamu nggak bisa datang ke pesta itu.” Elang berkata dengan lantang karena saat ini dirinya sedang berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Sedangkan Shafa sedang berada di dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

Shafa keluar, wanita itu sudah mengenakan piyamanya, wajahnya sudah segar, sedangkan rambutnya masih dia gelung, menampilkan leher jenjangnya hingga mau tidak mau hal itu menarik perhatian Elang.

Bagaimanapun juga, Elang adalah pria dewasa yang memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Tak jarang, Elang menegang hanya karena melihat lekuk leher Sang istri, atau hanya karena melihat bibir ranum maupun kulit lembut istrinya tersebut.

Elang menelan ludah dengan susah payah saat melihat leher jenjang Shafa yang tampak menggodanya.

“Maaf, aku datang dengan Bunga. Jadi kamu tidak perlu khawatir, kamu tidak perlu malu karena aku sebisa mungkin akan menghindar dari kamu agar kamu tidak malu berada di sekitar orang cacat sepertiku.”

“Sial.” Elang mengumpat pelan nyaris tak terdengar. Ia mendekat ke arah Shafa, sedangkan Shafa masih berdiri menatapnya seakan tak gentar dengan tatapan membunuh yang dilemparkan Elang.

“Aku tidak mengizinkan kamu datang.” ucap Elang penuh penekanan.

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak pantas berada di sana.” Jawabnya dengan penuh penghinaan.

Shafa merasa sakit karena jawaban tersebut. “Bunga yang mengajakku datang.”

“Aku tidak mau tahu pokoknya kamu tidak boleh ikut.”

Shafa tak bisa lagi menjawab. Ya, apa gunanya juga ikut jika dirinya tidak pernah dianggap di sana. Shafa bisa memberi alasan pada Bunga bahwa ia tidak enak badan. Beres bukan?

Ketika Shafa masih sibuk dengan pikirannya sendiri, dia tidak sadar bahwa sejak tadi Elang sudah mengamatinya dengan mata laparnya. Elang bahkan sudah melangkah mendekat. Jemarinya terulur mengangkat dagu Shafa, membuat Shafa tersadar sepenuhnya dari lamunannya.

“Kamu, jangan terus-terusan menggodaku seperti ini.” Elang mendesis tajam.

“Aku nggak ngerti.”

“Apa kamu diciptakan untuk menggodaku?”

“Apa?”

“Buka bajumu, dan kita selesaikan apa yang tertunda tadi siang.” titahnya penuh keangkuhan. Belum sempat Shafa mencerna apa yang baru saja diucapkan suaminya, Elang sudah lebih dulu menundukkan kepalanya, meraup bibir ranumnya, menggodanya, hingga mau tidak mau Shafa kembali terjerumus pada godaan mematikan dari seorang Elang Abraham.

-TBC-

4 thoughts on “Ugly Wife – Bab 3”

  1. Kenpa pendek banget 😤😤
    elang” kadang q suka lucu liat dia mulut ma pkiran dia itu ga singkrong banget , mulut na menghina tapi otak na mengarah ksana 😂😂
    tapi el keren sebrengsek apapun dia tetap az q terpesona 😍😍😍

    Like

  2. Demiiiiii apaaa. nunggu lanjutannya sejak tgl 24 juli huhuhuhu Kak Zennnnn, km buat aku khawatir kok gak upload2. Apa km baik2 aja ? Semoga Kak Zenny baik2 aja :* i love you

    Like

Leave a comment