romantis

Lovely Wife – Chapter 6 (Seks atau Bercinta?)

Lovely Wife

 

Chapter 6

-Seks atau bercinta?-

 

Dirga duduk di pinggiran ranjang dengan dengan jemari yang sudah mengepal. Ia memang marah karena Darren memukulnya, tapi ia lebih marah lagi saat melihat Darren mengajak Nadine pergi lalu mencium habis-habisan wanita itu.

Sial!

Tadi, setelah mengendalikan emosinya, ia menyusul kemana perginya Darren dan juga Nadine, lalu ia melihat Karina yang tampak mematung menatap sebuah pemandangan, dan pada saat itu pulalah ia juga melihat pemandangan tersebut.

Nadine dan Darren saling berciuman, seperti mereka berdua tengah melepas kerinduan, seperti mereka berdua terlihat tidak dapat terpisahkan dengan apapun. Sedalam itukah perasaan keduanya?

Lamunan Dirga buyar saat mendapati pintu kamarnya yang di buka kemudian di tutup kembali oleh seseorang. Itu Nadine yang baru kembali masuk ke dalam kamarnya. Dirga mengangkat wajahnya seketika dan mendapati Nadine yang sudah berdiri tak jauh dari pintu kamar mereka. Mata wanita itu masih basah, seperti orang yang baru saja menangis.

Menangisi Darren? Sial! Tentu saja.

Dirga berdiri seketika, sorot matanya menajam, seakan mampu membunuh siapapun yang tengah menatapnya. Dengan spontan Nadine menundukkan keplanya, meremas kedua belah telapak tangannya saat Dirga berjalan pelan menuju ke arahnya.

“Kak, aku minta maaf.” Entah kenapa Nadine tiba-tiba mengucapkan kalimat itu.

“Maaf? Untuk apa? Karena sudah berciuman dengan si berengsek Darren?”

Nadine mengangkat wajahnya seketika. Dirga berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi mengerikan, lelaki itu tampak sangat marah, secara spontan Nadine melangkah mundur, tapi hanya dua langkah, punggungnya sudah menempel pada pintu di belakangnya.

Tanpa di duga, Dirga malah melangkah mendekat, memenjarakan tubuh Nadine di antara kedua tangannya.

“Kak.”

“Kamu sudah membuat Karina menangis.” Dirga menggeram dalam ucapannya.

“Apa?” Nadine bingung dengan ucapan Dirga.

Dirga mencengkeram dagu Nadine, mendongakkan wajah wanita tersebut ke atas, lalu kembali menggeram di sana “Dengar, aku akan menghukummu setiap kali kamu membuat adikku tersakiti.”

“Aku nggak ngerti-”

Belum juga Nadine selesai dengan kalimatnya, kalimat tersebut di potong oleh bibir Dirga yang menyambar bibirnya dengan begitu kasar. Nadine mencoba mendorong Dirga, tapi tidak bisa, tubuh lelaki itu terlalu besar dan terlalu kuat untuk ia dorong, akhirnya dengan spontan, Nadine menginjak keras-keras kaki Dirga hingga membuat Dirga melepaskan pagutan bibir mereka seketika.

Dirga terpincang-pincang sambil mengaduh, mundur, menjauh dari Nadine. “Bangsat! Perempuan sialan!” Dirga benar-benar tampak marah. Matanya memerah seakan membara dengan kemarahan yang sudah menguasai dirinya, wajahnya mengeras, serta ekspresinya benar-benar tampak mengerikan untuk Nadine.

Dengan spontan, Nadine mencoba membuka pintu di belakangnya, tapi belum juga pintu tersebut di buka, Dirga sudah meraih pinggangnya, lalu ia merasakan tubuhnya melayang di udara. Dirga membanting keras-keras tubuh Nadine di atas ranjang, dan Nadine merasakan punggungnya yang terasa sakit karena bantingan keras dari Dirga.

“Mau bermain-main? Mari kutunjukkan bagaimana permainan yang kusukai.”                Secepat kilat Dirga menjatuhkan diri di atas tubuh Nadine lalu mencumbu bibir Nadine dengan begitu kasar. Nadine meronta dengan cumbuan yang di berikan oleh Dirga, tapi ia tak dapat berbuat banyak.

Dirga semakin menjadi, ia merobek paksa pakaian yang di kenakan Nadine hingga tampaklah kulit pundak Nadine yang putih mulus di hadapannya, tanpa banyak bicara lagi, Dirga mendaratkan bibirnya di sana. Bukannya mengecup lembut, atau mencumbu dengan penuh gairah, melainkan menggigit kasar di sana.

Nadine mengerang kesakitan, tidak suka dengan apa yang di lakukan Dirga, itu menyakitinya.

“Jangan.” Nadine meronta tapi Dirga seakan tidak mempedulikan kesakitan yang di rasakan oleh Nadine. Ia melanjutkan aksinya, melucuti pakaian Nadine dengan kasar, dan ketika tubuh mereka berdua sudah sama-sama polos, Dirga melakukan penyatuan sesuka hatinya tanpa mempedulikan Nadine yang belum siap menerimanya.

Nadine menangis, tapi Dirga tidak peduli. Sesekali jemarinya mencakar dada Dirga, mencoba melawan lelaki tersebut, tapi dengan cekatan Dirga meraih pergelangan tangan Nadine, memenjarakannya tanpa menghentikan pergerakannya.

Dirga akhirnya mencapai pelepasan pertamanya, tapi tak berhenti sampai di situ saja, ia kemudian meraih pakaian Nadine yang tadi di robeknya, membalik tubuh Nadine hingga memunggunginya, lalu mengikat pergelangan tangan Nadine di belakang tubuh wanita tersebut. Nadine sendiri sudah tidak mampu melawan lagi, Dirga begitu kuat dan kasar, yang bisa Nadine lakukan hanya pasrah.

Dirga kembali melakukan penyatuan dengan posisi Nadine yang membelakanginya hingga membuat Nadine kembali mengerang karena penyatuan yang tiba-tiba tersebut. Lelaki itu bergerak dengan cepat, dengan kasar, sedangkan tangannya tak berhenti menarik ikatan tangan yang mengikat kedua pergelangan tangan Nadine.

Nadine mengerang, meronta. Ia merasa tersiksa dengan apa yang di lakukan Dirga, ia merasa jika kini dirinya menjadi budak seks dari lelaki tersebut. Ini bukan bercinta, ini adalah sebuah seks, seks yang sama sekali tidak memberinya kenikmatan seperti yang kemarin ia rasakan. Bagaimana mungkin Dirga tega melakukan hal ini padanya? Memperlakukannya seperti seorang pelacur yang hanya berfungsi memuaskan hasrat leleki tersebut di atas ranjang?

***

Entah sudah berapa kali Dirga mengalami pelepasannya, entah berapa kali juga Nadine memohon pengampunan pada lelaki tersebut, hingga Dirga merasa sudah cukup lalu pergi begitu saja meninggalkan Nadine sendirian di kamarnya.

Kini, meski sudah hampir tengah malam, lelaki itu belum juga kembali ke kamar mereka, Nadine juga belum dapat memejamkan matanya karena masih sibuk menangisi apa yang terjadi dengannya.

Dirga sudah seperti memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi yang begitu lembut seperti kemarin dan tadi pagi, tapi satu sisi lain, lelaki itu tampak begitu mengerikan hingga membuat Nadine takut. Tapi Nadine tidak ingin takut, jika ia takut, maka Dirga akan selalu menginjak-injak harga dirinya.

Akhirnya Nadine mencoba bangkit, tubuhnya benar-benar terasa remuk, dan bukan hanya tubuhnya, tapi entah kenapa hatinya juga, ia tidak suka dengan apa yang sudah di lakukan Dirga padanya tadi.

Dengan langkah tertatih, Nadine menuju ke arah kamar mandi, membersihkan diri, mengganti pakaiannya, lalu mencoba mencari Dirga. Ya, ia akan mencari lelaki tersebut, ia tidak akan membiarkan Dirga meninggalkannya dalam keadaan marah seperti tadi. Apa yang akan di lakukan lelaki itu di luar sana dalam keadaan marah?

Nadine takut jika Dirga melakukan hal nekat. Bagaimanapun juga, Nadine sudah mengenal Dirga sejak lama. Nadine ingat jika dulu Dirga dan beberapa temannya bahkan sempat di penjara karena melakukan pengeroyokan pada anak orang hingga babak belur karena anak tersebut mencoba menggoda pacar Dirga. Dan Nadine tidak ingin hal yang terjadi saat Dirga masih remaja itu terulang lagi saat ini.

Setelah mandi, mengganti pakaian, serta merapikan penampilannya, Nadine lantas keluar dari kamarnya. Ia mengesampingkan rasa sakit di tubuhnya, ia mencoba menghilangkan rasa sedih di hatinya, bagaimanapun juga, Nadine merasa bersalah karena tadi sempat berciuman dengan Darren padahal kini ia sudah bersuami.

Perasaannya pada Darren memang belum sepenuhnya menghilang, tapi Nadine akan berusaha melupakan lelaki itu. Darren harus bahagia bersama dengan Karina, begitupun dengan Karina. Mungkin ini memang menjadi jalan terbaik untuk mereka semua. Sedangkan dirinya kini akan berusaha menerima status barunya sebagai istri dari seorang Dirga Prasetya. Bisakah?

Tak terasa, kaki Nadine sudah berhenti pada lobi hotel. Ia bingung harus mencari Dirga kemana. Apa lelaki itu keluar? Atau masih berada dalah hotel ini? Akhirnya Nadine memilih mencari Dirga di dalam hotel, mungkin di restoran atau di kafe hotel. Jika masih tidak ketemu, Nadine akan mencarinya keluar.

Setelah mencari di dalam restoran, dan tidak mendapati Dirga di sana, Nadine melangkahkan kakinya menuju ke arah kafe hotel yang letaknya tepat di sebelah restoran tersebut. Kafe itu khusus untuk minum-minum, dan bersenang-senang. Suasananya lebih mirip seperti kelab malam, sedikit remang-remang, dan penuh dengan perempuan berpakaian minim. Hanya saja, kafe ini lebih tenang.

Nadine masuk ke dalam kafe tersebut, mengedarkan seluruh pandangannya, mana tahu dia bertemu dengan Dirga. Dan benar saja, tak lama, pandangannya tertuju pada seseorang yang tengah asik meminum minuman keras di bar dengan dua orang wanita di sisi kanan dan kirinya.

Itu Dirga, dan lelaki itu sesekali mencumbu wanita yang berada di sebelahnya. Nadine meraba dadanya yang tiba-tiba terasa sesak saat melihat pemandangan tersebut. Apa ia cemburu? Mungkin saja.

Dan astaga, apa ini tandanya jika Dirga sudah bosan terhadapnya hingga lelaki itu mencari wanita lain sebagai pelampiasannya? Secepat inikah Dirga bosan padanya? Dengan langkah pasti Nadine menghampiri Dirga dan kedua wanita tersebut.

Nadine sempat menghentikan langkahnya dan terpaku di belakang Dirga saat mendengar ocehan yang keluar dari suaminya tersebut.

“Aku akan membayar kalian berapapun, berapapun yang kalian inginkan jika kalian mampu membuatku tegang bergairah.”

“Apa? Lalu kenapa kamu memanggil kami ke sini jika kamu belum tegang dan bergairah?” tanya seorang wanita yang berada di sisi kanan Dirga.

“Sialan! Perempuan itu yang mematikan gairahku pada wanita lain selain dirinya!” Dirga berseru keras. Lelaki itu benar-benar tampak sangat mabuk dan tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Oh, entah sudah berapa lama Dirga berada di sana, dan entah sudah berapa banyak botol minuman yang di habiskan lelaki tersebut.

“Perempuan? Perempuan siapa?” tanya wanita itu lagi.

“Perempuan sialan yang kunikahi kemarin. Bangsat!” Dirga kembali menegak minumannya. Meski Dirga tak berhenti mengumpat dan menyebutnya sialan, tapi Nadine sedikit tersenyum mendengar pernyataan Dirga tadi.

Nadine melanjutkan langkahnya dan kini berhenti tepat di sebelah Dirga, lalu mencoba menggeser wanita yang duduk di sebelah kanan Dirga.

“Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu siapa?” si wanita itu tampak kesal dengan Nadine yang tiba-tiba mengeser tempat duduknya.

Nadine malah menyunggingkan senyumannya untuk wanita tersebut. “Saya istrinya, perempuan sialan yang baru saja dia ucapkan.” Mata si wanita itu membulat seketika. “Kita balik, Kak.” Nadine mencoba mengajak Dirga untuk kembali ke kamar mereka.

“Tidak bisa begitu, suami kamu sudah menghubungi kami untuk memuaskannya malam ini.”

Nadine tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dadanya terasa sesak saat mendengar ucapan wanita tersebut. Dirga mencari kepuasan dari wanita lain, itu tandanya ia tidak mampu memuaskan suaminya tersebut. Oh, jika Nadine memiliki uang, maka saat ini juga ia akan membayar kedua wanita itu hingga keduanya mau angkat kaki dari hadapan mereka, tapi sayangnya…

Nadine akhirnya memberanikan diri morogoh saku belakang celana Dirga, mencari-cari dompet lelaki tersebut.

“Apa yang kamu lakukan?!” Dirga menggeram setengah sadar. Tapi Nadine tidak menjawab. Ia menemukan apa yang ia cari. Membuka dompet tersebut dan mengeluarkan semua uang tunai yang ada di dalamnya.

“Terima ini, suami saya tidak butuh kepuasan dari wanita lain.”

“Apa? Hei, kamu siapa berani bayar kami? Lagi pula bukan segini tarif kami semalam.” Si wanita di sebelah kanan tampak sangat tidak terima.

“Saya tidak punya uang tunai lagi, jika kalian ingin lebih, silahkan datang ke kamar kami besok pagi. Kamar 305.” Setelah mengucapkan kalimat yang di buatnya seketus mungkin itu, Nadine meraih lengan Dirga, mengajak lelaki itu berdiri dan memapahnya keluar dari dalam kafe tersebut.

Oh, Nadine bahkan mengenyahkan tubuhnya yang gemetaran. Ia tidak pernah melakukan hal seperti tadi. Dulu, ia pernah memergoki Garry, pacar pertamanya yang beselingkuh dengan gadis lain, tapi ia cukup meninggalkan lelaki itu, tidak perlu membahasnya atau bahkan bertatap muka secara langsung seperti tadi dengan wanita perebut kekasihnya itu. tapi tadi, entah kekuatan apa yang menguasai dirinya hingga memiliki keberanian seperti tadi, menampilkan kesombongannya yang bahkan tak pernah terpikirkan olehnya.

Sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri, tanpa terasa sampailah mereka pada kamar hotel mereka. Nadine masih memapah tubuh Dirga yang terasa sangat berat. Lelaki itu sudah meracau tak karuan. Suaranya seperti sebuah geraman hingga membuat Nadine tidak mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan lelaki tersebut.

Nadine merebahkan tubuh Dirga di atas ranjang, membuka sepatu lelaki tersebut, lalu membuka baju yang di kenakan Dirga, tapi ketika jemarinya baru menyentuh kancing baju Dirga, pergelangan tangannya di cekal erat oleh tangan Dirga.

“Apa yang kamu lakukan?” Dirga menggeram, matanya memerah seakan membara karena kemarahan yang sedang merayapi dirinya.

“Kamu harus ganti baju, aku nggak suka bau parfum wanita itu menempel di baju Kak Dirga.”

“Kenapa kamu mengusir mereka, Hah?!”

“Aku nggak suka.” Nadine menjawab dengan tenang dan  datar. Kemudian secepat kilat tubuhnya di tarik dirga hingga ia jatuh ke atas pelukan lelaki tersebut.

“Kalau kamu nggak suka, maka kamu harus menggantikan mereka untuk memuaskanku.”

Hanya kepuasan? “Aku akan menggantikan mereka.” Nadine masih menjawab dengan tenang tanpa Emosi. Dan secepat kilat Dirga menyambar bibir Nadine yang memang sudah berada sangat dekat dengan bibirnya. Ciuman yang sangat kasar, sama seperti apa yang di lakukan Dirga tadi sore padanya. Oh, apa Dirga akan menyakitinya lagi? Seperti tadi sore? Apa ia masih bisa bertahan setelahnya?

***

Dua hari kemudian, mereka kembali ke Jakarta. Setelah malam itu berakhir, semuanya kembali seperti semula, kecuali sikap Dirga yang semakin acuh tak acuh pada Nadine, seakan lelaki itu tak lagi memikirkan apa yang terjadi dengan Nadine. Nadine sempat berpikir jika Dirga masih marah padanya karena ia berciuman dengan Darren dan membuat Karina menangis, apa sedalam itukah rasa sayang Dirga pada adiknya? Padahal lebih dari itu, Nadine ingin Dirga marah karena memang tidak suka melihat hubungannya dengan Darren, bukan karena Karina.

Mereka tetap melakukan seks di hari-hari terakhir di Bali, tapi hanya seks, bukan bercinta seperti malam pengantin mereka saat itu. dan entah kenapa Nadine kecewa dengan hal itu. Dirga juga bersikap tidak menyenangkan padanya, lelaki itu tidak melemparinya dengan tatapan-tatapan menggoda seperti biasanya, seaka lelakin itu sudah bosan dengan hubungan mereka. Secepat itukah? Oh tidak! Nadine tidak akan membiarkan Dirga bosan secepat ini.

“Kak, apa aku boleh pulang dulu? Aku mau membereskan pakaianku.” Nadine bertanya saat setelah mereka keluar dari bandara dan masuk ke dalam mobil yang sudah menjemput keduanya.

Keluarga Nadine dan kedua orang tua Dirga sudah pulang lebih dulu sehari sebelumnya, hingga kini hanya menyisakan Dirga dan Nadine yang baru pulang dari Bali.

“Ya, aku akan mengantarmu pulang dulu.” Hanya itu jawaban Dirga.

Nadine tidak ingin mengakhiri percakapan mereka. “Uum, apa aku masih boleh bekerja di kantor?”

Dirga menolehkan kepalanya pada Nadine dan mengangkat sebelah alisnya. “Untuk apa? Aku akan memberimu uang belanja, jadi kamu tidak perlu lagi kerja di kantor.”

Oh, ternyata sikap arogan lelaki ini sudah kembali muncul, tapi Nadine suka, setidaknya Dirga tidak menanggapi perkataannya secuek tadi.

“Bukan tentang uang, tapi aku akan bosan di dalam rumah terus tanpa melakukan pekerjan apapun.”

Dirga sedikit menyunggingkan senyuman miringnya. “Kamu nggak akan bosan, lagi pula, akan banyak pekerjaan yang akan menantimu.” Nadine sedikit mengerutkan keningnya karena tidak mengerti apa yang di katakan Dirga, tapi di sisi lain ia senang melihat Dirga yang sepertinya sudah kembali seperti sebelumnya.

***

Sampai di rumah Nadine, Dirga masuk ke dalam rumah sederhana tersebut dan di sambut oleh keluarga barunya. Keluarga Nadine sederhana dan sangat ramah padanya. Ini adalah pertama kalinya ia bertandang ke rumah Nadine. Dulu meski keluarga mereka kenal dekat, tapi hanya Nadine yang sering bermain ke rumahnya untuk bertemu dengan Karina, sedangkan ia sama sekali tidak pernah berkunjung ke rumah Nadine. Bahkan saat melamar Nadine saja dan memberitahukan jika ia akan menikahi Nadine, Dirga menghubungi keluarga Nadine hanya lewat telepon saja.

Nadine mengajak Dirga masuk ke dalam kamarnya, kamar yang tidak seberapa besar, tapi cukup bersih dan rapi. Dirga menatap ke segala penjuru ruangan tersebut, dan untuk pertama kalinya ia merasa nyaman di tempat asing, padahal itu bukan kamarnya sendiri.

Dengan santai Dirga berjalan mendului Nadine dan melemparkan dirinya di atas ranjang Nadine. Nadine menatapnya dengan sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melihat lelaki yang melemparkan diri ke atas ranjangnya.

“Kamarmu nyaman.” Dirga berkomentar. Ya, tentu saja. Dirga mengingat kamarnya sendiri yang kini mungkin sudah menjadi sarang laba-laba. Ia adalah sosok yang pemalas, tidak pernah sekalipun mebersihkan kamarnya sendiri, dan suka seenaknya sendiri menaruh barang-barangnya. Ia juga tidak suka jika ada orang asing yang membereskan kamarnya, kecuali Karina, sedangkan kini, Karina sudah menikah dan tinggal dengan Darren selama lebih dari dua minggu terakhir, bisa di bayangkan bagaimana berantakannya kamar Dirga saat ini.

“Kalau kak Dirga mau, kak Dirga bisa istirahat di sini sebentar selama aku membereskan pakaianku.”

Dirga menghela napas panjang lalu mengangkat kakinya ke atas ranjang Nadine. “Oke, aku tidur sebentar.” Dirga melipat kedua tangannya di bawah kepalanya, lalu mulai memejamkan mata, sedangkan Nadine hanya bisa tersenyum menatap ke arah Dirga dan memilih membereskan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah Dirga.

Cukup lama Nadine membereskan apa yang ia perlukan hingga semuanya sudah selesai dan siap, tak terasa hari juga sudah mulai sore, tapi Dirga seakan belum ingin bangun dari tidur nyenyaknya. Nadine akhirnya memilih menghamnpiri Dirga dan mencoba membangunkan lelaki itu, tapi saat ia menghampirinya, Nadine hanya mampu mengamati Dirga yang masih tampak pulas dan tak bergerak.

Jemari Nadine terulur begitu saja mengusap alis Dirga yang tampak sangat tebal dan membuat lelaki itu tampak begitu menawan, kemudian jemarinya turun, mengusap pipi Dirga yang sudah di tumbuhi bulu-bulu halus, apa lelaki ini lupa bercukur tadi pagi? Kemudian tanpa sadar jemarinya merayap menuju ke arah bibir Dirga, bibir yang malam itu tak berhenti mencumbunya dengan sangat mesra.

Pada saat bersamaan, Nadine merasakan pergelangan tangannya di cekal oleh Dirga, lalu mata lelaki itu membuka seketika.

“Uum, aku, aku sudah selesai.” Nadine berkata dengan gugup. Tak menyangka jika Dirga akan terbangun saat ia memandangi lelaki tersebut dengan tatapan kagumnya.

“Kenapa tidak membangunkanku?”

“Uum, aku, aku-”

Dirga sedikit tersenyum miring, “Terlalu sibuk memandangiku?”

Pipi Nadine merona seketika. Dirga benar-benar sangat terang-terangan dengan apa yang ia pikirkan, dan Nadine suka saat Dirga sudah kembali bersikap seperti ini padanya, bersikap menggoda, membuatnya memerah, bukan seperti dua hari terakhir yang hanya cuek dan acuh tak acuh padanya.

“Uum, ibu memasak makan malam untuk kita, jadi sebelum kita pergi, kuharap kita makan malam di sini bersama ibu dan ayah sebentar.” Nadine tidak menjawab pertanyaan Dirga malah berbicara tentang hal lain agar kegugupan segera menghilang darinya dan pipinya berhenti merona-rona.

Jemari Dirga terulur mengusap lembut pipi Nadine. “Pipimu merah, membuatku gemas ingin menggigitnya.” Dirga berkata dengan suara seraknya, dan Nadine tahu, jika lelaki itu sudah mengeluarkan suara seraknya, berarti lelaki itu menginginkan sesuatu darinya.

Apakah seks? Atau bercinta?

“Kita tidak bisa melakukannya di sini?”

“Kenapa?”

“Aku akan menjerit karena kekasaranmu.” Nadine berkata terang-terangan mengingat dua hari terakhir mereka hanya melakukan seks yang kasar hingga membuat Nadine menjerit kesakitan setiap kali Dirga melakukannya.

“Aku tidak akan kasar.”

Nadine tidak menjawab, matanya terpaku pada mata Dirga yang menatapnya dengan tatapan mendamba.

“Hukumanmu sudah berakhir, sekarang kita akan mulai lagi dari awal.” Lanjut Dirga lagi.

“Hukuman?” Nadine tidak mengerti apa yang di katakan Dirga.

“Ya, setiap kali kamu melakukan kesalahan, aku akan menghukummu seperti dua hari terakhir. Aku akan menampilkan sisi burukku padamu seperti kemarin.”

Nadine bergidik mendengar pernyataan Dirga. Oh, ia bahkan masih merasakan bagaimana kasarnya Dirga memperlakukannya, beberapa bagian tubuhnya bahkan mungkin masih membiru bekas dari gigitan-gigitan menyakitkan yang di tinggalkan oleh Dirga. Itukah yang di sebut Dirga sebagai hukuman?

“Bagaimana jika aku berhenti melakukan kesalahan?”

“Maka aku akan menyayangimu sebagai istriku. Bukan sekedar wanita yang memuaskanku di atas ranjang.”

Nadine menelan ludahnya dengan susah payah, entah kenapa janji Dirga membuatnya tergoda untuk tetap tidak melakukan kesalahan di depan lelaki tersebut. “Jadi, uum, menurut kak Dirga, apa yang membuatku terlihat salah? Apa yang terlarang untukku hingga aku bisa di hukum seperti kemarin?”

Wajah Dirga mengeras seketika. “Jauhi Darren.” geramnya. “Jika kamu menjauhinya, maka aku akan bersikap baik padamu.” Entah kenapa ucapan Dirga terdengar bukan seperti janji, tapi seperti sebuah ancaman.

Nadine menggigit bibir bawahnya. Entah bagaimana caranya membuktikan pada Dirga kalau kini hubungannya dengan Darren memang sudah selesai kemarin. Perasaannya memang masih ada untuk Darren, tapi tak sebesar dulu. Nadine juga tidak lagi berharap untuk bisa bersatu kembali dengan Darren, sungguh, ia tak lagi mengharapkan hal itu, tapi bagaimana cara dirinya meyakinkan Dirga tentang hal itu?

“Kamu menerima laranganku?”

Nadine tidak menjawab, tapi dia mengangguk dengan patuh. Dirga tersenyum, dengan lembut ia mengusap pipi Nadine, jemarinya lalu mengusap bibir bawah Nadine yang tampak menggoda untuknya. Warnanya merah seperti ceri, padahal Dirga yakin jika Nadine tidak sedang mengenakan lipstik saat ini.

“Bibirmu benar-benar menggodaku.” ucapnya masih dengan mengusap lembut bibir Nadine, lalu sedikit demi sedikit Dirga mendekatkan wajahnya dan mulai menempelkan bibirnya pada bibir ranum milik istrinya tersebut. Dirga mulai mencumbunya dengan lembut, sedangkan jemarinya sudah merayap ke arah tengkuk Nadine, menahannya supaya wanita itu tidak melepaskan tautan bibir mereka berdua.

Dan yang bisa di lakukan Nadine saat ini hanya pasrah, membalas apa yang sudah di lakukan Dirga padanya, mencari kenikmatan yang sejak dua hari terakhir tidak di berikan Dirga padanya. Akahkah ia mendapatkannya? Apakah kali ini Dirga hanya sekedar melakukan seks? Atau kembali bercinta padanya seperti malam pengantinya saat itu?

-TBC-

4 thoughts on “Lovely Wife – Chapter 6 (Seks atau Bercinta?)”

  1. Dirga cemburu,,ah senangnya…klo Dirga lg manis gtu,,bnr2 mnggemaskan. Mulai skrg Nadine hrs brhati2 jgn smpai mmbuat Dirga marah lg.

    Like

  2. Aahhhhh dirga bener” iblis pnggoda dia , dia biza bersikap manis dan buas sekligus , tapi q suka sifat iblis na dia 😊😊
    jadi hukuman d atas ranjang yng d mksud dirga d hari resepsi pernikahan mreka seperti itu , menjadi buas d atas ranjang 😁😂

    Like

Leave a reply to Nurlaely D Cancel reply